Penulis
Mercy Mantau S.S., M.Hum
( mercymantau70@gmail.com )
FIB Universitas Sam Ratulangi
Pacificnews.id-.Bahasa merupakan salah satu unsur penting yang dapat mencerminkan kebudayaan masyarakat penuturnya. Hal ini dipertegas oleh Koentjaraningrat (1985 7, 88-89) yang menyatakan bahwa bahasa merupakan salah satu unsur dari tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal. Sebagai unsur kebudayaan, bahasa memegang peran penting dalam upaya memahami kebudayaan suatu kelompok masyarakat, Oleh sebab itu, bahasa dapat mengungkapkan nilai-nilai budaya dalam suatu komunitas masyarakat penuturnya sehingga dapat mengungkapkan pikiran dan perasaan yang mencerminkan pola pikir masyarakat pengguna bahasa tersebut.Hubungan yang erat antara bahasa dan budaya lebih diperjelas dengan hipotesis Sapir-Whorf yang mengungkapkan bahwa cara pandang seseorang terhadap realitas dipengaruhi oleh bahasanya, atau dengan kata lain, bahasa mempengaruhi pola pikir manusia. Bahasa yang digunakan dapat merefleksikan budaya penuturnya (Wardhaugh, 1986 212).
Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa mengenal pula adanya bahasa daerah yang digunakan oleh suku bangsa yang diwariskan secara turun-temurun, serta menjadi lambang identitas diri suatu komunitas budaya, misalnya komunitas budaya masyarakat etnik Gorontalo. Gorontalo sebagai salah satu dari 19 wilayah adat di Indonesia memiliki kebudayaan yang dipengaruhi ajaran agama Islam yang mengatur aktivitas kehidupan masyarakat Gorontalo sehingga dapat memberi keseimbangan hidup dalam penyelenggaraan pemerintahan, keagamaan, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan. Perpaduan adat dan syariat Islam sebagaimana terungkap dalam Tahuda (pesan kearifan) yang ditinggalkan oleh Sultan Eyato yaitu Adati hula-hula?o to sareatt, sareati hula- hula?o to Kitabullah Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah”. Pesan moral ini telah terpatri dalam ritme kehidupan sehari-hari masyarakat Gorontalo. (Botutihe, 2003 16)
Sementara itu, etnik Gorontalo sebenarnya memiliki tiga bahasa daerah yang digunakan sebagai media komunikasi dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya yaitu bahasa Gorontalo, bahasa Suwawa, dan bahasa Atinggola. Dari ketiga bahasa tersebut, bahasa Gorontalo yang paling banyak penuturnya yang tersebar dari wilayah Kotamadya Gorontalo, Kabupaten Gorontalo, sebagian wilayah Kabupaten Gorontalo Utara hingga Kabupaten Pohuwato. Sementara itu, bahasa Atinggola hanya digunakan oleh penduduk yang bermukim di wilayah Kecamatan Atinggola, Kabupaten Gorontalo Utara. Demikian pula halnya dengan bahasa Suwawa yang hanya digunakan oleh sebagian masyarakat yang bermukim di wilayah Kecamatan Suwawa, Kabupaten Bone Bolango. Faktanya sekarang ini masyarakat Gorontalo tidak hanya menggunakan bahasa Gorontalo dalam berkomunikasi sehari-hari, namun umumnya mereka juga sudah menggunakan bahasa Indonesia dan bahkan bahasa Melayu Manado dalam kegiatan resmi maupun pergaulan sehari-hari. Sementara dalam kegiatan prosesi adat-istiadat, misalnya penganugerahan gelar adat, pernikahan, kelahran anak ataupun kematian, bahasa Gorontalo masih berperan penting dalam situasi tuturnya. Keunikan bahasanya tampak pada penggunaan ungkapan-ungkapan bahasa yang dituja’i(dipuisikan) yang tidak saja terdengar indah ketika dituturkan, namun sarat dengan nilai-nilai moral,
Dahulu makna ungkapan-ungkapan bahasa yang dituturkan oleh para pemangku adat dalam situasi tutur pada suatu upacara adat masih dipahami oleh orang Gorontalo pada umumnya. Namun pada masa sekarang ini, ungkapan-ungkapan tersebut kurang dipahami lagi terutama oleh para generasi mudanya. Hal ini tidak terlepas dari adanya perubahan bentuk pemahaman dan pola berpikir orang Gorontalo yang sudah tersentuh pula arus modernisasi sehingga mempengaruhi karakter orang Gorontalo dalam memandang dan memperlakukan budaya-budaya lokal etnik Gorontalo. Mereka menguasai bahasa Gorontalo dengan baik, akan tetapi mereka tidak memahami lagi makna yang terkandung dalam sastra lisan sepeerti Tujai dan Palebohu, padahal apabila ditelisik lebih mendalam, di dalam kedua bentuk sastra lisan ini banyak terdapat ungkapan yang maknanya mencerminkan konsep pola pikir masyarakat etnik Gorontalo yang sesungguhnya. Preferensi penggunaan bahasa selain bahasa Gorontalo turut mempengaruhi tingkat pengetahuan tentang ungkapan bahasa Gorontalo. Di satu pihak, penggunaan bahasa Indonesia merupakan suatu pertanda baik bagi keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, namun di pihak lain intervensi bahasa Indonesia dalam ranah peradatan Gorontalo menjadi pertanda buruk bagi pelestarian bahasa Gorontalo sebagai satu identitas diri orang Gorontalo. Hal inilah yang menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian tentang adat-istiadat etnik Gorontalo khususnya yang mengkaji tentang peristiwa tutur dalam upacara adat pernikahan etnik Gorontalo. Dalam hal ini, penulis membatasi pada peristiwa tutur yang terjadi dalam tiga tahapan terpenting dalam upacara adat pernikahan etnik Gorontalo yaitu tahap motolobalango’ meminang’, tahap modutu’mengantar harta pernikahan’ dan tahap moponika ‘menikahkan’ (Botutihe, 2003:15). Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk tuturan atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer & Agustina, 2010: 47).
Pada tahap-tahap pelaksanaan upacara adat pernikahan etnik Gorontalo biasanya digunakan ungkapan-ungkapan bahasa yang indah yang disampaikan dengan cara dilantunkan dalam bentuk tuja?i dan palebohu oleh para baate (ketua pemangku adat). baik dari pihak keluarga laki-laki maupun keluarga perempuan. Tuja?i dan palebohu yang tergolong sebagai dua bentuk sastra lisan Gorontalo, merupakan bentuk ungkapan- ungkapan bahasa lisan yang dipuisikan dengan sangat menarik dan sengaja diubah sedemikian rupa sehingga maksud, gagasan, pemikiran, semangat serta keyakinan yang terkandung di dalamnya, misalnya yang disampaikan oleh pihak laki-laki pada saat tolobalango (peminangan) dapat diterima dengan baik, sopan, dan penuh kehormatan oleh keluarga pihak mempelai perempuan (Lihawa, 2008:171)
Salah satu contoh ungkapan bahasa yang terdapat dalam peristiwa tutur tahapan adat motolobalango yaitu: “Paramata to huali unti-unti to lamari “ yang artinya ‘permata dalam kamar terkunci di dalam lemari’. Makna budaya yang tersirat dalam ungkapan ini adalah gadis cantik yang masih terjaga kehormatannya dan dijaga ketat oleh keluarganya. Topik ini menarik perhatian penulis, karena kajian ini memadukan antara aspek bahasa dengan budaya. Makna budaya dalam upacara adat pernikahan etnik Gorontalo tidak hanya tergambar dari ungkapan bahasa yang digunakan, melainkan juga dalam penggunaan atribut-atribut budayanya, Selanjutnya, berdasarkan makna-makna budaya tersebut dapat terungkap bagaimana pola pikir masyarakat etnik Gorontalo memandang realitas kehidupannya.
Penelitian ini mengkaji relasi bahasa dengan budaya etnik tertentu. Dengan demikian, kerangka teoretis yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerangka teori Linguistik Antropologi. Menurut Folley(1997), Linguistik Antropologi merupakan cabang linguistik yang menempatkan bahasa dalam konteks sosial budaya, dalam hal ini melihat bagaimana bahasa dipakai dalam struktur sosial yang dikaitkan dengan konteks budayanya. Linguistik Antropologi memandang bahasa melalui konsep inti Antropologi, yaitu budaya dan mencari makna yang terkandung di balik ungkapan-ungkapan bahasa tersebut. Dalam teori ini, bahasa dikaji dalam kaitannya dengan sikap dan perilaku budaya etnik tertentu yaitu etnik Gorontalo terutama mengenai interaksi sosial budaya masyarakat etnik tersebut. Dasar pemakaian kajian ini bertolak dari hipotesis Sapir-Whorf yang berasumsi bahwa cara pandang seseorang terhadap realitas dipengaruhi oleh bahasanya atau dengan kata lain bahasa mempengaruhi pola pikir manusia. Bahasa yang digunakan merefleksikan budaya penuturnya(Wardhaugh,1986:212). Dengan demikian, bahasa menjadi cermin budaya suatu komunitas masyarakat.(Kadarisman, 2005:152). Marnita dan Oktavianus(2008:220) mengemukakan bahwa ungkapan merupakan sarana yang dapat mempertajam intelektual karena ungkapan menggunakan kata-kata kias yang maknanya tidak langsung dan hanya bisa dimengerti dengan cara memahami alam dan budaya lokal. Makna suatu ungkapan bahasa merupakan sesuatu yang dapat mewakili pola pikir suatu masyarakat. Selanjutnya, ungkapan bahasa yang sudah dikaitkan dengan suatu budaya akan mencerminkan makna budaya yang pada akhirnya dari makna budaya tersebut dapat diperoleh cerminan pola pikir suatu komunitas masyarakat.Senada dengan hal tersebut, Casson(1981:18) menegaskan bahwa budaya adalah pola pikir yang merupakan sistem kognisi yang keluar lewat bahasa dalam bentuk lisan maupun tulis. Sementara itu, Chomsky yang disitir oleh Kadarisman(2005:152) berpendapat bahwa bahasa merupakan cermin pikiran manusia( a mirror of mind) yang berarti terdapat hubungan antara kegiatan berpikir dan komunikasi yang berkaitan erat dengan perilaku penutur bahasa tersebut. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari bahasa. Bahasa dapat mengekspresikan realitas budaya yang pada akhirnya dijadikan pedoman bagi setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat. Ungkapan bahasa yang terjadi dalam satu atau lebih peristiwa tutur berperan menjadi media untuk merepresentasikan pola pikir masyarakat sebuah etnik yang tercermin melalui makna budaya tuturannya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode ini digunakan untuk menjelaskan/mendeskripsikan baik fakta maupun data apa adanya atau sesuai dengan realita. Metode deskriptif dipilih karena tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan dengan jelas objek yang diteliti secara alamiah. (Sobur,2004:187). Di dalam penelitian kualitatif prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis atau lisan pada masyarakat bahasa.
HASIL PENELITIAN
Dalam pelaksanaan tahap-tahap upacara adat motolobalango (meminang). modutu (mengantar mahar dan bahan makanan), dan moponika (menikahkan) banyak menggunakan ungkapan-ungkapan bahasa yang indah dan sopan dan biasanya diungkapkan dalam bentuk peribahasa, atau pun perumpamaan yang dipuisikan (Tuja’i) oleh para baate (ketua pemangku adat). Konsep Hymes (1974) yang diakronimkan dengan SPEAKING menjadi media penjabaran peristiwa tutur yang terjalin dalam prosesi adat Motolobalango, Modutu, Moponika. Konsep ini meliputi S(setting and scene) yang mengacu pada latar tempat dan waktu pelaksanaan, termasuk pula situasi tuturan ketika peristiwa tutur berlangsung; P(paticipants and prop)yang mengacu pada peserta dan atribut yang digunakan; E (ends) yang mengacu pada tujuan yang ingin diperoleh dari peristiwa tutur, A (act sequences) yang mengacu pada bentuk dan isi tuturan dalam peristiwa tutur; K (key) yang mengacu pada pesan, semangat yang dapat ditangkap dari ungkapan bahasa yang dituturkan termasuk pula perilaku nonverbal; I(instrumentalities) yang mengacu pada bentuk bahasa yang digunakan , N (norm of interaction and interpretation) yang mengacu pada norma yang berlaku, dan G (genre) yang mengacu pada bentuk penyampaian secara verbal (Wardhaugh, 1986:238-240)
A.Analisis Peristiwa Tutur dalam Prosesi Adat Pernikahan Gorontalo
Berikut ini hasil analisis peristiwa tutur dalam ketiga tahap prosesi adat pernikahan etnik Gorontalo yang dijabarkan sesuai dengan konsep SPEAKING oleh Dell Hymes (1974):
1.Setting and Scene
Rumah kediaman orang tua calon pengantin perempuan menjadi latar tempat untuk prosesi adat Motolobalango, sementara latar waktunya adalah sore hari setelah waktu sholat Ashar atau dapat pula dilaksanakan pada malam hari. Situasi yang tergambar dalam tahap acara ini adalah situasi formal namun tetap bernuansa kekeluargaan. Sementara itu, prosesi adat Modutu dilaksanakan sesudah prosesi Motolobalango yang pada masa sekarang ini sering dilaksanakan pada hari yang sama Namun ada pula sebagian orang yang melaksanakannya pada pagi hari menjelang akad nikah. Prosesi adat Moponika terbagi atas dua bagian acara yaitu Mopotilandahu dan Mongakaji. Acara Mopotilandahu dilaksanakan di rumah orang tua pengantin wanita dan latar waktu pelaksanaannya malam hari sehari sebelum acara Mongakaji. Nuansa religius sangat kental sekali karena pada malam tersebut calon pengantin wanita akan melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dalam proses khatam Qur’an. Selanjutnya suasana akan berubah ceria ketika calon pengantin pria akan menari Saronde (molapi Saronde) dan calon pengantin wanita menari Tidi (motidi)
2.Participants and Prop
Partisipan yang hadir dalam prosesi adat Motolobalango terdiri dari pemangku adat enam orang yang akan memimpin penyelenggaraan upacara adat dari awal hingga akhir; keluarga dekat kedua calon pengantin yang akan menjadi saksi keluarga mewakili orang tua; kadhi(imam)yang bertugas memimpin upacara pernikahan secara syariat Islam, dan pihak pemerintah (Taa Tombuluwo). Sementara itu, atribut adat yang digunakan dalam prosesi adat ini sangat beragam antara lain: perlengkapan adat yang dibagi atas tiga bagian yaitu, tapahula hu’olo ngango, mama ngotapahula, dan tapahula mama lo’ongongalaa. Sementara itu dalam prosesi Modutu, partisipan yang hadir terdiri dari pemangku adat yang berjumlah enam orang, keluarga dekat yang mewakili orang tua, kadhi dan wakilnya, pemerintah , pembawa hantaran harta adat(sakili) dan calon pengantin perempuan. Atribut adat yang menjadi unsur penunjang utama dalam prosesi adat ini antara lain terdiri dari tapahula berisi tonelo(mahar), tapahula berisi alat pembayaran adat yang terdiri dari tonggu(uang adat), kati, tutu lo polidulu(pembayaran untuk juru rias). Pada prosesi adat Moponika, partisipan yang hadir terdiri dari pemangku adat , imam yang memimpin doa khatam Al Qur’an, calon pengantin laki-laki dan perempuan, orang tua keduanya, seorang ibu yang mendampingi calon pengantin perempuan ketika mengkhatam Al Qur’an, dan keluarga serta teman-teman kedua calon pengantin. Pada prosesi adat Mongakaji, partisipan yang hadir adalah partisipan yang hadir pada tahap mopotilanndahu dan ditambah dengan petugas pencatat nikah yang akan mencatat pernikahan tersebut. Atribut adat yang dihadirkan antara lain kitab suci Al-Qur’an, alikusu(gapura adat), tolitihu(tangga adat), puade, perlengkapan tari saronde dan tidi, pakaian, genderang adat(hantalo).
3.Ends
Prosesi adat Motobalango bertujuan menghubungkan ikatan silahturahmi keluarga kedua calon pengantin. Prosesi ini mengandung makna sebuah permintaan secara resmi dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk menjadi istrinya. Sementara itu, prosesi Modutu dilaksanakan untuk memenuhi syarat-syarat yang diminta pihak keluarga calon pengantin perempuan dalam melaksanakan pernikahan, baik secara syariat Islam aupun sesuai ketentuan adat Gorontalo. Prosesi adat Moponika yang terdiri dari acara Mopotilandahu dan acara Mongakaji bertujuan untuk menanamkan prinsip religius dalam diri pengantin perempuan dan mengesahkan secara resmi hubungan seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam tali pernikahan baik secara syariat Islam maupun menurut keluhuran adat-isiadat.
4.Act Sequences
Dalam prosesi Motolobalango contohnya tampak pada akhir prosesi peminangan, wacana nonverbal tampak dari perilaku kedua juru bicara yang berdiri berhadapan dengan dibatasi kain alas lalu duduk dengan posisi duduk di atas lipatan kaki kiri sedangkan kaki kanan tegak, kemudian mereka berjabat tangan seraya melantunkan tuja’i bergantian:’depita mayilapato, salawati upo’o patato, amanati pilo dudulo, waw delo bungo sambako, maa longoalo to wombato ito waw watotiya, humaya delo hutiya, buta’o didu motiiya(segala sesuatu telah selesai, jabatan tangan memperjelas, amanat yang disampaikan laksana sekuntum bunga cempaka, mekar di atas alas, anda dan saya laksana rotan dibelah tak akan terpisah). Sementara dalam prosesi Modutu, wacana verbal tampak dalam ungkapan-ungkapan yang mengambarkan penegasan sikap kedua pihak keluarga mengenai harta pernikahan, sedangkan wacana nonverbal tampak dalam perilaku partisipan terutama juru bicaranya termasuk pula kepercayaan etnik Gorontalo dalam menyikapi hal-hal yang berkaitan dengan harta pernikahan, yaitu bahwa mereka tidak mengenal ungkapan ‘momate tulu’(memadamkan api) yang bermakna semua urusan harta seluruhnyaa dari pihak laki-laki. Sebaliknya, mereka meyakini ungkapan’mobaliya atau motunggala’ yang mengandung makna semua urusan ditanggung secara bersama-sama. Selanjutnya dalam prosesi Moponika, wacana verbal tampak dalam tuja’i dan palebohu yang dilantunkan baate. Wacana nonverbalnya tampak dalam perilaku nonverbal partisipannya seperti:juru bicara keluarga yang berdiri di hadapan Taa Tombuluwo sembari memberi penghormatan adat(molubo), pengantin laki-laki dan orang tua/wali pengantin perempuan berjabat tangan sambil ujung ibu jari masing-msing saling menyentuh ketika dilakukan pengakadan.
5.Key
Dalam prosesi Motolobalango, juru bicara keluarga bersikap serius dalam berbicara dengan nada suara merendah ketika melantunkan tuja’I yang berisi ungkapan bermakna permohonan. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadi kesalahpahaman antara kedua pihak keluarga. Sementara pada prosesi Modutu, kedua juru bicara keluarga berbicara dengan nada agak tegas dan serius begitu pula halnya dengan partisipan yang serius mendengarkan tuja’i-tuja’i dari kedua juru bicara keluarga., sedangkan pada prosesi Moponika, tuja’i dilantunkan dengan nada gembira namun tetap dengan tutur kata yang santun.
6.Instrumentalities
Dalam ketiga prosesi adat pernikahan, juru bicara keluarga laki-laki menyampaikan maksud kedatangan mereka secara lisan dalam bahasa Gorontalo. Begitu sebaliknya dengan juru bicara keluarga perempuan.
7.Norm of Interaction and Interpretation
Motolobalango dan Modutu bersifat formal sehingga partisipan yang hadir pun berusaha menjaga kekhidmatan acara ini. Setiap tahap demi tahap acara ini dilaksanakan sesuai dengan aturan adat yang berlaku dan tidak boleh ada yang terlewatkan. Sementara pada prosesi Moponika, tahap acara Mopotilandahu bersifat nonformal, namun partisipan tetap harus mematuhi norma-norma yang berlaku di dalamnya, misalnya pengantin laki-laki tidak boleh melangkah masuk ke dalam rumah sebelum dituja’i Mopotuwoto; pengantin perempuan harus duduk di dalam kamar pengantin sebelum dijemput baate untuk acara mohatamu dan motidi.
8.Genre
Pada ketiga prosesi adat Motolobalango, Modutu, dan Moponika gaya penyampaian ungkapan bahasa oleh juru bicara pengantin laki-laki dan perempuan direalisasikan dalam bentuk pernyataan biasa, peribahasa, maupun perumpamaan yang disampaikan dalam bentuk Tuja’i(puisi adat).
B). Makna budaya ungkapan verbal dalam prosesi adat pernikahan Gorontalo
1.Contoh ungkapan verbal dalam prosesi adat Motolobalango :
Alhamdulillah ‘Segala puji bagi Allah
Debo woluwo ongongalaa taa dipoluwo masih ada keluarga yang belum datang
Bo humaya odelo tuladu namun laksana sepucuk surat
Demaa tomatangalo bua-buadu nanti dibaca dulu
Wonu humaya odelo kitabi bila diibaratkan Al-Qur’an
Demaa tomatangalo ngadi-ngadi biarlah nanti dibaca dalam pengajian
Makna budaya yang terkandung dalam ungkapan ini adalah ikatan kekeluargaan yang sangat kental dalam masyarakat etnik Gorontalo yang tersirat dari harapan pengantin agar keluarga hadir dalam pernikahannya. Hal ini tidak terlepas dari salah satu hakekat pernikahan yang menganggap bahwa pernikahan bukan hanya menjadi urusan kedua calon pengantin, melainkan sudah menjadi urusan keluarga sehingga harus dimusyawarahkan dan diputuskan dalam keluarga seperti tampak dalam ungkapan yang sudah terpatri dalam budaya Gorontalo berikut ini: donggo to delomo ombongo wala’o to dulota, dabo to’u maa yilumualai ode dunia, tio malowali weala’o ta daadaata (ketika masih dalam kandungan anak milik kami berdua, tetapi setelah lahir anak ini milik keluarga).
Alhamdulillah segala puji bagi Allah
Putungo bungo kanari kuncup bungo kenari
Longo’alo to huali, moonu kaka-kakali mekar di kamar, semerbak harum baunya
Intani paramata intan permata
Wonu-wonu to bubalata harum semerbak daam peraduan
Boli unti-unti to buluwa yang terkunci dalam peti besi
Dipolu taa lo minggolo belum ada yang mengikat
Boheli ito-itolo barulah anda sendiri
Wanu tuhata bahasa bila tepat tata bahasa
Loiya moopalata yang dimaksud akan tercapai
Wanu tuhata loiya bila tepat tutur kata
Du’awo mo’owaliya doakan seia sekata
Makna budaya ungkapan dalam tuja’i di atas mengisyaratkan bahwa gadis yang ingin dilamar oleh keluarga laki-laki adalah gadis yang masih terjaga kesuciannya yang diibaratkan seperti intan permata yang terkunci dalam peti besi. Hal ini sesuai dengan ketentuan adat etnik Gorontalo yang menetapkan bahwa hanya gadis yang masih suci saja yang boleh menjalani prosesi adat dalam pernikahan.
Mama ngotapahula sirih pinang daalm peti adat
Modaha u olumbula penjaga agar tidak terhalang
Wali li matodula asal keturunan bangsawan sejati
Wombu li tolangohula cucu leluhur yang berbudi
Lintonga pobotulalo palang adat
Haya’a waw tanggalo panjang dan lebarnya
Potala diila malo odelo haya’o dalalo moga-moga tidak sepanjang jalan
Toowoluwo lo hunting waudilito ketentuan dari pola adat
Potala diila malo odelo ayopa lo yilito moga-moga tidak sedalam jurang
Owoluwo lo huntingo waw tuudu ukuran dan takaran
Potala diila malo odelo langgato huidu moga-moga tidak setinggi gunung
Dalam ungkapan yang terangkum dalam tuja’i di atas tersirat pentingnya arti sirih pinang (mama pilitango) dalam kehidupan masyarakat Gorontalo. Dalam budaya Gorontalo, sirih pinang yang dipercaya bermanfaat bagi kesehatan gigi banyak dikonsumsi dengan cara dikunyah terutama oleh orang tua. Pemberian sirih pinang mengandung makna untuk melancarkan pembicaraaan/musyawarah selanjutnya antara kedua keluarga tersebut terutama mengenai mahar yang akan diberikan kepada calon pengantin perempuan seperti tampak dalam ungkapan mama ngotapahula, modaha u olumbula’ sirih pinang dalam peti adat, penjaga agar tidak terhalang’. Harta mahar dalam tuja’i dikiaskan sebagai lintonga pobotulalo’palang adat’.
Payu lo Limutu-Hulontalo ‘pola adat Limboto-Gorontalo
Maa tayo-tayolo dalalo sudah ada jalan
Dalalo maapidu-piduduto jalan sudah tersusun rapi
Waw didu moluluto dan tidak terhapus
Ayitilo to bohuliyo tuturkan pada awalnya
Tunggulo pulitiyo tuturkan pada awalnya
Didu boli tahuyi sisaliyo jangan sampai ada tersisa
Adati liyombuto mulo ‘adat istiadat leluhur kita
Dahayi bolo lumumbulo jaga jangan sampai punah
Wapi to pilomulo tanaman pun akan diserang
Maapunga moopulo akan dilaknat dan mendapat musibah
Ode tawu mo lopulo manusia akan binasa
Ungkapan di atas menyiratkan bahwa dalam pola adat Gorontalo-Limboto sudah ada ketentuan adat yang baku yang mengatur tentang syarat kelengkapan adat yang harus dipenuhi dalam suatu pernikahan. Dalam ungkapan di atas tampak pengggunaan kata ‘dalalo’yang menyiratkan makna ketentuan adat. Etnik Gorontalo wajib mematuhi ketentuan adat tersebut jika tidak ingin mendapat malapetaka seperti yang tersirat dalam bait-bait tuja’i.
2. Contoh ungkapan verbal dalam prosesi adat Modutu:
Adati lo hunggiya adat negeri
Maatilumapalayi odiya kini sudah sampai
Wanu bolo maaluasiya kalau sudah diperluas
Maalayio mayide yiladiya akan naik ke rumah
Adati liyombuto adat leluhur kita
Toduwolo mobotulo silahkan dinaikkan
Wombuto maasadiya tikar sudah tersedia
Bubato maahihadiriya pembesar negeri telah hadir
Makna budaya yang terkandung dalam ungkapan di atas menyiratkan sikap orang Gorontalo yang tetap mempertahankan ciri khas budayanya dengan tetap menggunakan wombato(tikar) sebagai alas tempat menggelar semua perlengkapan adat antaran pernikahan, walaupun saat ini sudah banyak tersedia karpet beraneka warna dan corak. Anyaman tikar ini terbuat dari sejenis tumbuhan yang hanya tumbuh di daerah pinggiran danau Limboto.
Bismillah molomulo dengan nama Allah sebagai awal mula
Aadati lo’umulo adat dari leluhur kita
Oyintaliyo tonggu yang pertama tonggu
Tonggu lo wunggumo adat pembuka bagi yang diam
Lopotuwawu dulungo telah menyatukan tujuan
Oluwoliyo kati yang kedua kati
Kati lo adati martabat dalam adat
Lodingo waw sarati jadi takaran dan persyaratan
Lowali pake-pakeati olanto jamaati menjadi pakaian bagi kita semua
Otoluliyo maharu ketiga mahar
Totapalu molamahu pada wadah yang indah
Makna yang tersirat dalam tuja’i di atas selain materi adat antaran yang harus dipenuhi sesuai ketentuan adat, tata cara penyerahannya harus secara berurutan dari tonggu hingga tembakaudan mendahulukan pihak pemerintah menerima buah-buahan. Hal ini mengandung makna bahwa kedua calon pengantin dalam menjalani bahtera rumah tangga harus memiliki sifat disiplin, saling menghargai dan hormat-menghormati.
3. Contoh ungkapan verbal dalam tuja’i pada prosesi adat Moponika :
tuja’i mopolahee taeya:
Pangge wahu pangge ‘berhati-hatilah
Pangge u oduta’a berhati-hatilah pada tanah yang dipijak
Pangge u otihula berhati-hati pada tempat berdiri
Wombu li tolangohula cucu tolangohula
Wali li matoladula turunan raja matoladula
Makna budaya yang tersirat dalam tuja’i ini adalah kedua pengantin harus selalu menjaga perilakunya baik dalam tindakan maupun tutur katanya berpegang teguh pada ajaran agama dan aturan adat yang sesuai dengan syariat Islam.
tuja’i mopotupalo:
Wombu tupalolomai ‘cucu disilahkan masuk
Tupalai to dutula masuklahh melalui jalur ini
Taluhu waw buluwa air dan peti
Maalo liiyatuwa membaur jadi satu
Ode tumula popalo bagai bambu pecah siap dianyam
Lotutai lopopalo dilicinkan dan diluruskan
Ode timo ipitolo bagai timah ketemu tuangan
Ode pini bubo’alo laksana kapas yang putih bersih
Ode hulawa putalo laksana emas murni
Kata ‘dutula’ dalam bahasa Gorontalo mengandung makna leksikal ‘sungai’, tetapi dalam tuja’i ini mengandung makna ‘jalur’atau ‘jalan’ yang akan dilewati pengantin. Makna jalur atau jalan dianalogikan dengan air sungai yang mengalir secara teratur. Secara keseluruhan, ungkapan dalam tuja’i ini mengandung makna dalam menjalankan bahtera rumah tangga, kedua pengantin selalu harus menyatukan pendapat, saling menyayangi , seiring sejalan, seia sekata dan memiliki hati yang bersih dan sifat rendah diri dalam kehidupan sehari-hari.
Tuja’i mopobotulo :
Wombu pulu lo lahua cucunda putera negeri
Lo lipu pilohumbuwa dari negeri tempat asal
Li bapu waw liuwa para kakek dan leluhur
Tohuliya tota’uwa di hilir maupun di hulu
Hidapata hiwuluwa telah siap dengan tertib
Tombuluwo wunduwolo pembesar negeri menyanjung
Wahu maa pohutuwolo dan akan melaksanakan
Lopohuli lo umololo tata upacara para pendahulu
Menurut ketentuan adat etnik Gorontalo khususnya dalam pernikahan adat, rumah pengantin wanita tetap harus dibuatkan tangga adat(tolitihu), walaupun bentuk rumahnya sudah memiliki tangga ataupun model rumahnya bukan rumah tangga. Ungkapan di atas mengandung makna budaya bahwa kedua pengantin pada hari pernikahannya dimuliakan secara adat selayaknya raja
dan ratu sehari. Makna lainnya adalah kedua pengantin harus memegang prinsip kehati-hatian dalam menjalankan biduk rumah tangganya.
C. POLA PIKIR MASYARAKAT ETNIK GORONTALO DALAM TUJA’I DAN PALEBOHU
Menurut Spradley(1979), pola pikir masyarakat berkaitan dengan tema budaya dari suatu komunitas budaya etnik tertentu. Tema budaya sendiri dimaknai sebagai suatu prinsip kognitif yang bersifat tersirat maupun tersurat dan berulang dalam sejumlah domain dan berperan menghubungkan berbagai subsistem makna budaya. Sementara budaya adalah pola pikir yang merupakan sistem kognisi yang dikeluarkan melalui bahasa baik dalam bentuk lisan maupun bahasa tulis. Oleh karena itu, untuk dapat mengungkap pola pikir etnik tertentu, Spradley melihatnya dari beberapa kategori yaitu aspek kekerabatan, hubungan sosial dan pandangan material. Pola pikir masyarakat etnik Gorontalo tercermin melalui makna ungkapan dalam tuja’i dan palebohu berdasarkan kategori berikut :
1. Aspek kekerabatan.
Etnik Gorontalo merupakan komunitas budaya yang sangat memperhatikan aspek kekerabatannya dalam perilaku kehidupannya. Aspek kekerabatan tergambar jelas dalam tata upacara adat pernikahannya. Hal ini dapat dilihat melalui keterlibatan seluruh anggota keluarga dalam pelaksanaan pernikahan tersebut terutama pada tiga tahap terpenting, yaitu motolobalango, modutu dan moponika.keterlibatan keluarga besar dalam pelaksanaan suatu upacara adat pernikahan tidak terlepas dari hakekat pernikahan tnik Gorontalo yang menyatakan bahwa pernikahan bukan semata-mata urusan pribadi kedua pengantin, melainkan sudah menjadi urusan keluarga kedua belah pihak.oleh sebab itu segala urusan ang berkaitan dengan pernikahan selalu diputuskan dalam musyawarah keluarga dan acara akad nikahnya selalu dihadiri oleh seluuh anggota keluarga, baik dasri segi kedekatan hubungan kekeluargaan ataupun dari segi letak tempat tinggalnya yang dekat atau jauh dari lokasi pernikahan. Acara pernikahan bagi etnik Gorontalo menjadi media pelepas rindu bagi anggota keluarga yang jarang bertemu, dan menjadi media perkenalan anggota keluarga/anak cucu yang belum saling mengenal.
Aspek kekerabatan tersirat dalam ungkapan yang disampaikan ayah calon pengantin wanita ketika menerima kunjungan awal orang tua calon pengantin pria pada tahap molenilo:” amiyatiya mohile ma’apu, wonu maali amiyatiya donggo mo’otaawapo wolo ongo ngaala’a sababu donggo to delomo ombango wala’o ta duulota, dabo to’u maa yilumualai ode dunia, tiyo maloali wala’o to dadaata (kami minta maaf kalau boleh kami bermusyawarah terlebih dahulu dengan seluruh keluarga, sebab ketika masih dalam kandungan, anak ini milik kami berdua, namun setelah lahir anak ini milik keluarga)”. Ungkapan lainnya yang menyiratkan aspek kekerabatan dalam etnik Gorontalo yaitu:1) ”U mulo-mulo yilawadu lamiyatiya, bolo woluwo ongongala’a pilo layiliya, waw dipolu hihadiliya,ongongala’a pilo layiliya, waw dipolu hihadiliya, ongongala’a tiloduwo waw dipoluwo, ongongala’a bolitula’a’o to tu’adu, meyambola yilawola maa tuladu(yang pertama-tama kami tanyakan adakah keluarga yang diharapkan dan belum hadir di tempat ini, keluarga yang diundang dan belum datang, keluarga yang didatangi atau dikirimi surat dan belum bersama kita)”.2) alhamdulillah debo woluwo ongongala”a taa dipoluwo bo humaya odelo tuladu, demaa tomatangalo bua-buadu, wonu humaya odelo kitabi, demaa tomatangalo ngadi-ngadi(segala puji bagi Allah, masih ada keluarga yang belum datang, namun laksana sepucuk surat, nanti dibaca dulu, bila diibaratkan Al Qur’an biarlah nantii dibaca dalam pengajian). Aspek ikatan kekerabatan yang kuat dalam etnik Gorontalo jelas tersirat dalam ungkapan-ungkapan di atas yangg selalu melibatkan keluarga dalam masalah yang berkaitan dengan pernikahan.
2. Aspek hubungan sosial
Pernikahan merupakan salah satu cara untuk menjalin hubungan kekerabatan baru antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan. Selain itu dalam kehidupan sosialnya setnik Gorontalo sangat mengagungkan nilai-nilai tatakrama dalam pergaulan. Hal ini dilandasi oleh kepatuhn orang Gorontalo terhadap norma adat yang bertopang pada syariat Islam.budaya tatakrama dalam pergaulan sudah mengkristal dalam kehidupan etnik Gorontalo yang diwaiskan secara turun temurun, contohnya tatatkrama dalam menghormati orang tua dan yang dituakan, bersalaman, makan-minum, berbicara dan bertegur sapa. Selain itu, penggunaan ungkapan-ungkapan tidak langsung dalam bentuk peribahasa ataupun perumpamaan merupakan gambaran karakter etnik Gorontalo yang selalu menjaga pola kesantunan dalam berbicara demi menghindari kesalahpahaman.
Aspek hubungan sosialpun dapat dilihat pada pola perilaku etnik Gorontalo yang sangat menghormati pemimpinnya. Tahuda(pesan kearifan) yang ditinggalkan oleh Sultan Eyato yaitu adati hula-hula’o to sareati, sareati hula-hula’o to Kitabullah ‘adat bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah’menjadi bukti sifat orang Gorontalo yang religius. Ketaatan pada adat-istiadat berlandaskan agama tampak dalam tuja’i dan palebohu yang dilantunkan dalam rangkaian upacara adat pernikahan.
Sifat musyawarah untuk mufakat(dulohupa) juga menjadi salah satu ciri karakter etnik Gorontalo seperti tampak dalam ungkapan berikut:”amiyatiya tawubotulo dila lumbaa lumbolo, donggo modata u olipata, bolo mo harapu potuhata, alihu itu mowali basarata, huidu mowali data”(kami datang bertamu mohon tidak dipandang mengganggu, masih banyak hal yang terlupakan, tinggal mengharapkan petunjuk, supaya kita jadi terpadu, gunung pun menjadi dataran).
3. Aspek material
Aspek material mencakup penggunaan unsur-unsur alam di dunia ini sebagai bukti karakter etnik Gorontalo yang selalu bersyukur atas semua rahmat Tuhan YME. Sumber alam yang sering digunakan sebagai atribut adat oleh etnik Gorontalo misalnya sirih, pinang, dan kelapa bertunas. Empat unsur alam utama yaitu huta(tanah),taluhu(air), doputo(angin)vdan tulu(api) mengilhami filosofi kehidupan etnik Gorontalo, dan jumlah empat unsur alam menjadi referen bagi jumlah atribut adat yang digunakan dalam prosesi adat antar harta(modutu) yaitu terdiri dari sirih, pinang, gambir, tembakau. Empat simbol adat ini wajib ada dalam prosesi antar harta.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan aebagai berikut :
1. Ungkapan –ungkapan verbal yang terdapat dalam peristiwa tutur pada ketiga tahap prosesi adat pernikahan Gorontalo ini berbentuk peribahasa, perumpamaan yang dilantunkan dalam bentuk Tuja’i dan Palebohu. Tuja’I adalah bentuk puisi adat yang dilantunkan dalam ketiga tahapan acara yang mengandung makna permohonan ataupun penegasan tentang sesuatu hal, sedangkan palebohu adalah puisi adat yang hanya dilantunkan dalam prosesi Moponika ketika kedua pengantin sudah duduk di pelaminan.Palebohu berisi nasehat kepada pengantin dalam menjalankan bahtera rumah tangganya. Ungkapan-ungkapan tersebut menggunakan bahasa yang santun sehingga maksud dan pemikiran yang terkandung di dalamnya dapat diterima dengan baik oleh kedua pihak keluarga.
2. Makna budaya yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan pada peristiwa tutur baik secara verbal maupun nonverbal dihasilkan dari korelasi makna ungkapan tersebut yang dihubungkan dengan konteks budaya Gorontalo
3. Pola pikir masyarakat etnik Gorontalo yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan bernilai positif menggambarkan karakter etnik Gorontalo yang bersifat religius, mengagungkan nilai-nilai tatakrama dalam pergaulan, kekeluargaan, pekerja keras, menghormati pemimpinnya dan mementingkan musyawarah untuk mufakat.
DAFTAR PUSTAKA
Botutihe, M.Hi.dan F. Daulima.2003. Tata upacara Adat Gorontalo. Pemerintah Daerah
Gorontalo
Botutihe, M.Hi. 2003. Gorontalo serambi Madinah:Obsesi dan Perubahan menuju
masyarakat yang sejahtera dan berkualitas. Jakarta : PT Media Otda
Casson, R.W.1981. Language, Culture and Cognition: Anthtopological Perspectives. New
York : Macmillan Publishing Co. Inc.
Chaer, Abdul & Agustina Leonie, 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Folley, A.W. 1997. Anthropological Linguistics : An Introduction. Oxford. England:
Blackwell Publishers Ltd.
Hymes, D. 1974. Linguistics Method in Ethnography : Its Development in the United States
dalam Method and Theory in Linguistics.diedit oleh Paul Garvin, Mouton, Hogue.
Kadarisman, A.E. 2005. Relativitas Bahasa dan Relativitas Budaya. Linguistik Indonesia.
Agustus 2005. Jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia : Jakarta. Agustus 2005.
ISSN:0251-4846. Hal 151-170.
Kridalaksana H.1984. Kamus Linguistik. Jakarta : PT. Gramedia
Lihawa, K. 2008. Materi Konggres Internasional Bahasa danAdat Gorontalo I. Goronalo :
Universitas Negeri Gorontalo.
Marnita dan Oktavinaus. 2008. Perilaku Berbahasa Masyarakat Minangkabau dan Pengaruhnya terhadap Pemakaian Ungkapan sebagai Media Pendidikan Informal Keluarga.. Linguistik Indonesia. Jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia : Jakarta. Nomor 2 tahun ke 26. ISSN : 0215-4846. Hal. 219-231
Pateda ,M. 1977. Kamus Bahasa Gorontalo-Indonesia. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.\
Sobur,A.2004.Semiotika Komunikasi.Bandung:Remaja Rosdakarya
Usman D.K. 2008. Materi Konggres Internasional Bahasa dan Adat Gorontalo I. Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo.
Wardhaugh.R. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford UK.: Basil Blackwell Ltd.