Rina P. Pamantung
Victorien C. G. Katuuk
Julaiha Kyai Modjo
Meity Wowor
Vivi Tumuju
FIB UNSRAT MANADO
Manado,Pacificnews.id-.Makanan tinu’tuan merupakan makanan asli masyarakat Minahasa yang diadopsi masuk ke wilayah SULUT sehingga disebut dengan bubur Manado. Tinu’tuan sebagai salah satu bagian non-linulut yang pada mulanya hanya bubur sayor, tetapi akhirnya terangkat posisinya sebagai menu acara syukuran atau pesta kecil-kecil secara formal dan tidak formal.
Nama tinu’tuan dibedakan berdasarkan pemakaian Bahasa di Minahasa bukan wilayah daerah administratif. Perbedaan itu nampak pada perbedaan bahan dan bumbu adonan pada sesuai pemakaian Bahasa daerah yang memunculkan versi tinutuan pada pemakaian Bahasa Tontemboan, Bahasa Tombulu, Bahasa Tonsea dan Bahasa Tondano. Nama sesuai bahasa daerahdi Minahasa yaitu peda’al, pela’ar, sende’en, winiran, tinape, dan tinu’tuan wik-wik.
Variasi nama makanan yang muncul pada pasca covid 19 yaitu midal,tinutuan campur brenebon, tinutuan tai minya, tinutuan ampas ba’, dan tinu’tuan makang deng pisang goreng. Pemunculan nama makanan tinu’tuan itu sebagai hasil produksi rumahan dan komersial.
Keunikan tinu’tuan yakni makanan itu disebut pekanan ne wewene yang artinya makanan khas perempuan karena daong gedi mengandung zat collagen (untuk kulit).
Kata kunci : Tinu’tuan, label non-linulut variasi nama, keunikan, dan tinutuan wik-wik.
PENDAHULUAN
Makanan dan minuman Minahasa merupakan salah satu peninggalan budaya yang awet, lestari, dan kokoh masih bertahan saat ini dengan pemunculan leksikon berupa nama serta variasi dan modifikasinya yang tidak berkurang tetapi terus bertambah (Pamantung, 2015). Makanan pada masyarakat Minahasa dapat dibagi dua kategori yakni makanan yang dimasak di bambu (Linulut) dan makanan yang tidak dimasak di bambu (non-linulut).
Kota Manado di Sulawesi Utara sebagai bagian wilayah dari Minahasa atau yang didiami oleh orang minahasa terkenal di kalangan wisatawan domestik dan mancanegara karena memiliki berbagai objek wisata yang memesona. Salah satunya adalah spot menyelam di Taman Laut Bunaken.
Selain itu, Manado juga dikenal dengan kuliner yang menggunakan bahan-bahan ekstrem seperti daging kelelawar, tikus, ular piton, biawak, anjing, hingga monyet yang dimasak dalam bambu. Selain itu, ada salah satu makanan unik yang terkenal yang disebut tinutuan atau bubur sayur.
Makanan tinutuan merupakan makanan asli masyarakat minahasa yang diadopsi masuk ke wilayah SULUT sehingga disebut dengan bubur Manado.
Tinu’tuan sebagai salah satu bagian non-linulut yang pada mulanya hanya bubur sayor, tetapi akhirnya terangkat posisinya sebagai menu acara syukuran atau pesta kecil-kecil secara formal dan tidak formal.
Makanan ini muncul hanya pada acara yang diselenggarakan oleh kelompok lingkungan tertentu yang saling mengenal atau ’”tong deng tong” (kita saja) berupa syukuran di lingkungan katuari ‘antarteman’, keluarga kerabat (rukun), atau rutinitas acara ibadah gereja di Kolom (rayon). Makanan tinutu’an tidak pernah dimunculkan pada acara pesta besar seperti “orang kaweng” atau “Pengucapan Syukur” karena secara implisit ada perasaan yang “direndahkan” bila memunculkan sajian makanan ini untuk tamu.
Jadi, kepercayaan yang dianut masyarakat Minahasa adalah pantang (tidak boleh) memunculkan makanan tinu’tuan pada acara pesta. Fenomena serta fakta adanya tinu’tuan sebagai makanan yang unik dari Manado perlu sekali dikaji secara mendalam dalam rangka pemertahanan Bahasa dan budaya daerah.
ANALISIS
Nama tinu’tuan berasal dari kata tuut atau tutu yang artinya nasi atau bubur. Secara harfiah, tinutuan berarti dijadikan bubur. Di sejumlah wilayah, hidangan ini juga biasa disingkat menjadi tinu saja. Sementara itu, di daerah Tondano, sebagian masyarakat menyebutnya sinede’an dan di Minahasa Selatan ada yang menyebutnya pedaal. Meski namanya berbeda di setiap daerah, rasa dan tampilannya tetap sama.
setiap bahasa daerah di Minahasa memiliki versi tinu’tuan tersendiri. Versi itu merupakan hiponim terhadap tinutuan.
Deretan kedua yang tertera dengan label tinu’tuan versi bahasa Tondano, tinu’tuan versi bahasa Tombulu, tinu’tuan versi bahasa Tonsea, dan tinu’tuan versi Tountemboan merupakan perangkat leksikal yang memiliki kemiripan. Perbedaannya sangat kecil yang terletak pada aspek komponen bahan makanan, yakni pada komponen sayur-mayur. Sayur yang digunakan berbeda-beda berdasarkan versi pembuat makanan tersebut. Tinu’tuan versi bahasa Tondano menggunakan sayur bayam, jagung, kangkung, gedi. Sementara tinu’tuan versi bahasa Tombulu, menggunakan sayur labu, singkong, bayam, kangkung. Tinu’tuan versi bahasa Tonsea, menggunakan jagung, kangkung, dan ubi jalar. Selanjutnya, tinu’tuan versi bahasa Tountemboan menggunakan bahan-bahan berupa sayur kangkung, jagung, singkong, dan ganemo. Relasi leksikal dari perangkat leksikal tinu’tuan menurut versi atau pemakaian bahasa lokal di Minahasa, terdiri atas peda’al, pela’ar, sende’en, winiran, tinape, dan tinu’tuan wik-wik. Tinu’tuan mengacu ke makna umum bubur sayur yang dikonsumsi, tapi ada component supplementary yang ditambahkan pada pada tinu’tuan wik-wik, yakni kata ulang wik-wik dengan makna kognitif yang mengacu pada konsumen berupa ibu yang baru melahirkan. Pada peda’al dan pela’ar ada component supplementary, yakni lokasi penentuan pada tingkat wilayah administratif berupa wilayah kecamatan pada leksem pedaal, sedangkan pada pela’ar lokasi pemunculan hanya pada tingkat desa (Tombasian) karena bahan sayur walau hanya sayur gedi, dikatakan peda’al. Peda’al bisa disamakan dengan sende’en (sayur). Component supplementary pada tinu’tuan wik-wik terkait dengan jenis konsumen yang mengonsumsi makanan. Sementara itu, pada peda’al dan pela’ar terkait dengan satu lokasi wilayah daerah administratif tetapi membedakan tingkat wilayah daerah administrasi, yang satu hanya muncul pada desa, sebagai wilayah yang paling kecil. Peda’al digunakan pada wilayah administrasi yang lebih luas, yaitu kecamatan yang mencakupi beberapa desa.
Ketidaksamaan bumbu antarwilayah di Minahasa yang ditulis oleh Weichart (2004) terlihat pada variasi bumbu dari tiap wilayah pemakaian bahasa di Minahasa. Walaupun nama yang muncul dan dikenal secara umum adalah tinu’tuan dengan ciri komponen makna kemangi, tinu’tuan menurut versi Tontemboan menggunakan sayur ganemo, bunga pepaya, di wilayah Tonsea tinu’tuan menggunakan ubi jalar sebagai alternatif apabila tidak ada singkong, di wilayah Tondano dan Tomohon menggunakan bahan sayuran kangkong, bambu muda, dan bayam. Sebagai tambahan wilayah pemakaian bahasa Tombulu di Tanawangko dan bahasa Tondano mengenal tinu’tuan wik -wik.
Aplikasi penggunaan nama berdasarkan dialek atau bahasa setempat terlihat di sini. Variasi penggunaan komponen sayur dan tanaman berdasarkan pada lingkungan ekosistem dan pengadaan bahan makanan yang tersedia di tiap wilayah pemakaian bahasa daerah di Minahasa.
Namun, bila kembali mengacu pada sejarah nama Minahasa maka Minaesa berarti satu untuk beberapa wilayah maka konsep tinu’tuan adalah bukti bahwa budaya Minahasa memang demikian. Istilah tinu’tuan tidak mempunyai kesulitan khusus pada makna karena makna dasar atau leksikalnyaa dalah bubur sayur atau bubur dicampur sayur. Hanya ada makna versi lain yang terkait dengan masa penjajahan Belanda, yakni dengan versi cerita bahwa asal usul nama makanan, seseorang sedang memasak di dapur, dan ditanyai oleh orang Belanda, ”sedang apa?” Ibu menjawab, tinu’ tuan, artinya sedang memasak, tuan. Tinu’tuan berasal dari kata tutu ”masak” ditambah dengan sisipan -in- yang berarti sedang melakukan pekerjaan (present participle) dan tou ”orang”. Ada kata tinu’tuan berasal dari tinu’tu tuan ’saya sedang memasak tuan’. Semenjak itu nama makanan bubur dicampur sayur yang sedang dimasak dinamakan tinu’tuan. Tinu’tuan mencakup jenis sayuran, ubi, beras, rempah, dan bumbu (Pamantung, 2015).
Hidangan unik ini tak lepas dari sejarahnya. Pada zaman dahulu, kondisi ekonomi masyarakat di Manado terbilang sulit sehingga mereka kesusahan membeli makanan. Untuk bertahan hidup dan mengirit, mereka memasak sayur-sayuran dengan sedikit beras dan dimasak menjadi bubur.
Keunikan lain dari tinutuan adalah dianggap sebagai hidangan perempuan. Sebagian masyarakat Manado dan Minahasa meyakini bahwa bubur sayur ini memang disantap oleh kaum hawa. Di Tondano, masyarakat sering menyebut hidangan ini sebagai pekanan ne wewene yang artinya makanan khas perempuan karena mengandung zat collagen (untuk kulit).
Bubur Manado biasa jadi santapan orang yang sedang kurang sehat karena teksturnya lembut dan menghangatkan. Semua orang suka bubur karena makanan ini sederhana dan termasuk comfort food. Umumnya, bubur terbuat dari beras yang dimasak sampai lembek . Cara masak tinutuan atau bubur Manado , yakni beras dimasak dengan jagung, labu kuning, dan singkong serta air, bila sudah lembek ditaruh sayurdan bumbu.
Meski namanya bubur, dari proses pembuatan, penampilan, hingga rasa, tinutuan memiliki perbedaan yang nyata dengan bubur yang lain karena dicampur dengan sayur-sayuran, jagung, dan singkong.
Perbedaan dengan sajian bubur pada umumnya, tinu’tuan terbuat dari campuran beras, labu kuning, ubi jalar kuning, bayam, kangkung, jagung, kemangi, dan daun gedi.
Setelah masak, tinutuan disajikan dengan ikan asin jambal yang dipotong dadu lalu digoreng kering, bisa juga ditambahkan ikan cakalang fufu atau tuna asap, perkedel jagung, perkedel nike, tahu-tempe goreng, sambal roa, dan sambal dabu-dabu dari bahan cabai, bawang merah, dan tomat yang dibumbui dengan garam dan perasan jeruk nipis. Saat ini, tinu’tuan disantap dengan pisang goreng. Selain itu, tinutuan juga bisa dicampur dengan mi atau brenebon, sup kacang merah khas Minahasa. Tinutuan yang disajikan bersama mi biasa disebut midal. Sementara itu, untuk tinutuan brenebon, biasanya juga ditambahkan tetelan sapi atau kaki babi ataupun ayam.
Secara umum, tinutuan memiliki rasa yang kompleks dan unik. Anda akan merasakan pengalaman baru ketika pertama kali mengonsumsinya, karena seporsi bubur ini isiannya begitu meriah, dan rasanya perpaduan antara gurih dan pedas.
Salah satu ciri khas dari hidangan ini adalah penggunaan daun gedi, tanaman sayur khas di Sulawesi Utara yang populer dari Talaud di Utara hingga ke Bolaang Mongondow di Selatan. Daun gedi di tinutuan memiliki peran untuk pengental alami dan membuat rasanya menjadi lebih gurih. Daun ini dikenal kaya protein, vitamin, serat, dan zat besi. Di Sulawesi, daun gedi cukup banyak diolah menjadi hidangan lezat, seperti diolah dengan santan dan ditambahkan rebung, ubi talas, ikan asin, hingga cakalang fufu. Bagi orang Sulawesi Utara, tinu’tuan sendiri tak lengkap tanpa kehadiran daun gedi. Sesuai hasil penelitian terakhir, daun gedi mengandung zat collagen yang bermanfaat bagi kulit.
KESIMPULAN
Setelah tinu’tuan dikaji secara mendalam maka kesimpulan yang dapat diberikan yaitu sebagai berikut.
Tinu’tuan memiliki keunikan karena disebut makanan perempuan. Daun gedi menjadi bahan makanan campuran tinu’tuan yang mengandung zat collagen. Makanan tinu’tuan diproduksi secara rumahan dan komersial dan dikonsumsi semua kalangan umur sehingga disebut comfort food.
Nama tinu’tuan terdiri atas peda’al, pela’ar, sende’en, winiran, tinape, dan tinu’tuan wik-wik. Variasi bahan makanan dan bumbu tinutuan berdasarkan pada wilayah pemakaian Bahasa daerah di Minahasa bukan pada pembagian wilayah daerah.
REFERENSI
Adam, I. 1976. Adat-Istiadat Suku Bangsa Minahasa. Jakarta: Bhrarata.
Casson, R. 1981. Language, Culture, and Cognition: Anthropological Perspectives. New York: McMillan Publishing Co, Inc.
Clark, E.V. 1993. The Lexicon in Acquitition. Cambridge: Cambridge University Press.
Cruse, D.A. 1991. Lexical Semantics. Cambridge: Cambridge University Press.
Deely, J. 1990. Basics of Semiotics. Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press.
Djajasudarma, F. 1993. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: PT Gresco.
Djajasudarma, F. 1993. Semantik I-II. Bandung: PT Rafika Aditama.
Fairclough, N. 1989. Language and Power. Relasi Bahasa, Kekuasaan, dan Ideologi. London and New York: Longman Group.
Foley, W. 1997. Anthropological Linguistics in Introduction. USA: Blackwell publisher.
Givon, T. 1984. Syntax: A Functional Typological Introduction. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.
Halliday, M.A.K dan Ruqaiya, Hasan. 1979. Cohesion in English. London: Longman Group.
Halliday, M.A. K. & Hasan, R. 1985. Language, Context, and Text: Aspect of Language in A Social-Semiotic Perspective. Victoria: Deakin University.
Hickerson, N. 1980. Linguistic Anthropology. New York: Holt, Rhinehart and Winston Inc.
Kalangi, N. 1980. Kebudayaan Minahasa. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:
Karamoy, O. 2002. Peristilahan atau Kosa Kata yang Digunakan Orang Minahasa pada Komuditas Pertanian dalam Pembuatan Makanan Tradisional. Dalam Duta Budaya. No. 53/54. Manado: Fakultas Sastra, Unsrat.
Kempson, D. 1977. Semantic Theory. Cambridge: Cambridge University Press.
Ingkiriwang, J. 2007. Manusia dan Kebudayaan Minahasa. Manado: Percetakan UNSRAT.
Leech, G. 1971. Semantics. London: Penguin Books.
Lehrer, A. 1974. Semantic Fields and Lexical Structure. Amsterdam: North Holland Publishing Company
Lutzeier, P.R. 1983. The Relevance of Semantic Relations Between Words for the Notion of Lexical Field. Theoretical Linguistics 10: 147 – 178.
Lyons, J. 1977. Semantics. I – II. Cambridge: Cambridge University.
Tim Kanwil P dan K Provinsi Sulut; Fakultas Sastra Unsrat, FKSS IKIP Manado. 1977. Struktur Bahasa Melayu Manado. Manado: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sulawesi Utara.
Manoppo, G. 1983. Bahasa Melayu Surat Kabar di Minahasa pada Abad ke-19. (disertasi). Jakarta: Universitas Indonesia.
Matthews, P.H. 1978. Morphology: An Introduction to the Theory of the Word-Structure. London: Cambridge University Press.
Miles, M dan Huberman, M. 1992. Analisis Data Kualitatif. Penerjemah Tjetjep Rohidi. Jakarta: UI Press.
Moleong, Lexy J. 1994. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, Offset.
Palmer, E. 1976. Semantics. Great Britain: Cambridge University Press.
Rondonuwu, B. 1983. Minahasa Tanah Tercinta. Manado: Yayasan Karya Pemuda Sulut, KNPI DPD Minahasa.
Renwarin, R. 2007. Matuari Wo Tonaas. Dinamika Budaya Tombulu di Minahasa. Jilid I: Mawanua. Jakarta: Penerbit Cahaya Pineleng.
Salzmann, Z. 1993. Language, Culture, and Society: Introduction to Linguistic Anthropology. USA: Westview Press.
Samarin, William J.. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. Terjemahan J.S.Badudu. Yogyakarta: Kanisius.
Saeed, J. I. 1999. Lexical Semantics. Massachusets, USA: Blacwell Publishers
Spradley, J. 1979. The Ethnographic Interview New York: Holt, Rinehart and Winston.
Taulu, H. 1952. Hukum Adat Minahasa. Tomohon: Yayasan Membangun.
Turang, J. 1997. Profil Kebudayaan Minahasa. Tomohon: Majelis kebudayaan Minahasa.
Ullman, S. 1983. Semantics: An Introduction to the Science of Meaning. Oxford: Basic Blackwell.
Wierzbicka, A. 1996. Semantics Primes and Universals. New York: Oxfprd University.
Weichart, G. 2004. Identitas Minahasa: Sebuah Praktik Kuliner. Dalam Jurnal Antropologi Indonesia: Tahun ke XXVIII No.74, Mei – Agustus 2004.
Wardaugh, E. 1986. Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Blackwell Publishers.