Pacificnews.id-.Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud (GMIST) telah membunyikan lonceng penolakan kehadiran korporasi tambang PT. Tambang Mas Sangihe (TMS) di Pulau Sangihe.
Penolakan lembaga gereja tersebut sebelumnya diwujudkan melalui surat edaran 30 Desember 2021 ditujukan kepada BP Majelis Resort dan Jemaat-Jemaat se GMIST untuk menolak aktfitas PT. Tambang Mas Sangihe (TMS).
Tak hanya itu sejumlah pimpinan Sinode GMIST yang dihadiri Ketua Umum Pdt. Dr. Welman Boba, M.Th., Ketua Misi, Pdt. Jacob A Medea, M.Th, M.Pd.K., Ketua Organisasi Pdt. Alex Edison Tantu, S.Th, M.Pd.K., dan Sekretaris Umum Pdt. Ch. M. Oleng, M.Th telah melakukan diskusi dengan Save Sangihe Island (SSI) yang dihadiri oleh Jull Takaliuang, Alfred Pontolondo, Jan Takasihaeng, dan beberapa orang lainnya di Kantor Sinode GMIST, Senin (10/1/2022).
Melalui diskusi tersebut hadir juga sejumlah tokoh-tokoh agama Kristen, seperti Pdt. M. A. Lamorahan, M.Div dan Pdt GPDI Wilson Rorong. Pdt. M. A. Lamorahan yang merupakan Ketua Sinode GMIST ke V itu menyampaikan sikap tegas, ia meminta kepada Ketua Umum Sinode GMIST agar perlu dilakukan ibadah khusus penyelamatan pulau Sangihe.
“Sehingga rohani jiwa raga warga gereja betul-betul merenungkan secara mendalam pergumulan ini. saya katakan masalah ini akan sangat lama nanti, itu bakal 50 sampai seratus tahun masalah ini akan terus dihadapi,” Ungkapnya.
Dirinya juga berharap semua anggota Persekutuan gereja se Indonesia (PGI) harus tahu persoalan yang ada. Bahkan dirinya meminta agar kehadiran PT. Tambang Mas Sangihe (TMS) dibahas di Sidang Majelis Pekerja Lengkap PGI yang akan dilaksanakan di Sangihe dalam dekat ini.
“Saya usulkan ke ketua umum untuk mengangkat isu ini menjadi isu nasional menjadi perhatian seluruh warga gereja. GMIST adalah salah satu tonggak sejarah PGI. Dia penandatangan nomor 6, dalam sejarah saya kira GMIST dengan segala keterbatasan dan kelemahannya ia termasuk orang kuat yang lemah tetapi diperkuat Tuhan. dan saya mau katakan masalah TMS ini merupakan pintu masuknya intoleransi dan kalau intolerasi masuk kita akan perang saudara habis-habisan,” jelasnya.
“Saya mau tegaskan sekarang, kita tidak hanya menyelamatkan orang sangihe tetapi menyelamatkan umat Tuhan. Umat Tuhan lebih mahal dari emas. Jadi tadi malam saya merenung, renung apakah cara Tuhan mendidik orang sangir seperti ini. saya menangis sendiri kasihan apakah orang sangihe akan dihukum dengan cara ini. saya usul tadi harus ada doa-doa khusus untuk perjuangan ini,” Jelasnya lagi.
Hal itu juga dipertegas oleh Pdt. Jacob A Medea selaku ketua misi GMIST, Medea sepaham dengan apa yang diusulkan oleh pendeta emeritus M.A. Lamorahan. Dikatakannya langkah konkrit harus segera dilakukan, sebab melawan PT. TMS bukanlah persoalan yang mudah. Dia mengusulkan pelaksanaan ritual ibadah bersama untuk menjembatani semua elemen pemerintah dan masyarakat agar bersatu.
“Kita satukan langkah kita melalui rapat di resor dam kemudiam kita lakukan doa bersama, semua pemimpin agama yang ada di GMIST. Perjuangan ini harus melibatkan semua menyelamatkan daerah ini,” Ucap dia.
Ketua Umum Sinode GMIST Pdt. Dr. Welman Boba pada kesempatan itu menyatakan pada dasarnya GMIST menolak tambang tersebut, (red; PT.TMS). Ungkapnya gereja ditempatkan sebagai alat tak hanya melestarikan alam, tetapi juga melestarikan kehidupan. “Jadi semua yang mengganggu hidup, gereja harus berada di situ, melihat merawat hidup. Kalau gereja sudah lupa merawat manusia berarti gereja sudah lupa jati dirinya,” Ungkapnya.
Ketua Umum Sinode GMIST yang baru terpilih tersebut menegaskan kembali bahwa surat edaran yang diedarkan pada 30 Desember 2021 bukan hanya sikap Sinode, tetapi merupakan sikap GMIST secara utuh karena telah dibahas dalam sidang dan yang hadir di sidang-sidang itu kata dia adalah ketua ketua jemaat juga utusan.
“Berarti itu suara GMIST jadi kami meneruskan sikap GMIST, sikap Allah yang melembaga itu,” jelasnya.
Melalui surat tersebut jelasnya ada dua perjuangan, secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal GMIST berupaya untuk bertemu Presiden Joko Widodo. “kita mau berusaha bertemu Presiden, kita lagi sementara mencari akses, tidak ada manusia di dunia ini yang tidak bisa ditemui. Melalui MPL PGI Tahun 2022 kita akan mendorong isu ini menjadi isu nasional, bisa menjadi isu internasional juga. Ini strategi vertikal kita,” bebernya.
Sementara aksi horizontal GMIST akan berkoordinasi dengan pemerhati lingkungan seperti halnya SSI, Sampiri dan lain-lain yang berjuang melestarikan lingkungan. Dengan menggaet pemerhati lingkungan Boba mengatakan akan dilaksanakan edukasi melalui pertemuan ditingkat resort dan jemaat.
“Semua harus teredukasi, nanti kalau kita semua sudah mati emas masih ada dan mereka akan datang lagi ke generasi berikut. Jadi diminta kita bisa bersama-sama dengan SSI dalam mensosialisikan persoalan ini, supaya kita tidak hanya menyurat tetapi dapat terus bersama-sama menyurakan persoalan ini,” jelasnya sambil mengiyakan bahwa ibadah bersama penyelamatan pulau Sangihe akan segera ditindaklanjuti.
Penolakan warga Sangihe dengan berbagai elemen hingga kini berdasar setelah pemerintah pusat resmi mengeluarkan izin IUP PT TMS. Izin diberikan lewat Surat Keputusan (SK) Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021. SK mulai berlaku pada tanggal 29 Januari 2021 dan berakhir pada 28 Januari 2054. Ada pun izin luas wilayah kontrak kerja tersebut seluas 42.000 hektar atau setara 420 km persegi. Bila dibandingkan dengan luas wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe yakni 737 km persegi, maka izin tambang yang diberikan pemerintah mencapai 56,98 persen, atau separuh lebih dari pulau eksotis yang penjaga perbatasan Indonesia – Filipina itu.
(*/tim pn)